Senin, 10 September 2012

MENGUAK HAK ULAYAT SIMALUNGUN


 Opini.
Penguatan Masyarakat Adat
“ MENGUAK HAK ULAYAT SIMALUNGUN “
Oleh : Herman Sipayung.
Koordinator Program Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Lembaga Pelpem GKPS Jl. Pdt. J Wismar Saragih P.Siantar.

Masih jelas diingatan peristiwa 10 tahun yang lalu, tepatnya oktober 2001 gerakan perlawanan “Rakyat Silampuyang” secara berramai-ramai merusak tanaman sawit seluas 80 ha milik Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN) Marihat dengan keinginan tanah tersebut kembali pada mereka sebagai “ Hak Ulayat Masyarakat”.
Pada kenyataannya semangat perjuangan serta nilai kebersamaan harus menghadapi  penderitaan baru karena sekitar ratusan yang menyebutkan pewaris  “ hak ulayat “ harus menjalani sanksi pidana. Pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN) Marihat tetap secara syah untuk menguasai.
Dari peristiwa tersebut muncul pertanyaan.
  • Apakah selamanya Pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN) Marihat  menjadi pemilik ?
  • Apakah dengan kekalahan “ Rakyat Silampuyang” Hak Ulayat tidak ada di Simalungun ?

Istilah Hak Ulayat awalnya berasal dari masyarakat Minangkabau (di Sumatera Barat),  secara kepemilikan yang disebut  hak ulayat ada di seluruh wilayah Indonesia, seperti hak : wawengkon (jawa), torluk (Angkola), patuanan (Ambon), payur (Bali). Pada UUPA No. 5 Tahun 1960, Pasal 3 menyebutkan secara jelas tentang nama hak ulayat berlaku bagi seluruh masyarakat adat.

Ruhnya Masyarakat Adat ada pada sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, serta Hak Ulayat adalah hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah serta isinya, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. 

Untuk itu hubungan Masyarakat Adat dengan keberadaan Hak Ulayat harus memenuhi 3 syarat secara kumulatif yaitu :
  1. Adanya subyeknya yaitu : “ Masyarakat  Adat “
  2. Ada objeknya
  3. Adanya hubungan subyek hak ulayat dengan obyek hak ulayat.

Dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, identitas masyarakat adat secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi :
1.    Kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip pertapa bumi dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka.
2.    Kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan komersil dengan pihak luar.
3.    Masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman. Contohnya : Dayak Penan di Kalimantan, Haruku di Maluku, dsb.
4.    Masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang  sebagai akibat dari penjajahan yang  telah berkembang ratusan tahun.

Susunan kekerabatan masyarakat suku simalungun berdasarkan pertalian darah garis keturunan laki-laki (patrinieal genealogis) memakai marga ayah dibelakang nama kecil. Setelah menikah juga memakai marga ayah warisan kakek. Beda dengan perempuan setelah menikah masuk clan suaminya, dan anaknya masuk marga suami. Hal ini sesuai menurut masyarakat  simalungun marga mempunyai arti yang sangat penting, karena marga menentukan sejarah tiap generasi yang tidak akan putus. Marga menunjukkan suatu kelompok tertentu yang ada hubungan darah, marga bukanlah menentukan teritorial, tetapi marga mengandung aspek identitas sedarah, seketurunan, satu nenek moyang yang sama. Dalam status sosial marga menentukan perbedaan kedudukan apakah sebagai marga raja, marga boru, marga penumpang dalam suatu huta dengan Falsafah kehidupan dikenal Lembaga Adat yang disebut “TOLU SAHUNDULAN LIMA SAODORAN “ (Tungku nan tiga dan Tungku nan lima),  yaitu :
1.  Tondong (Paman)
2.                   Sanina/sapanganonkon (sanak saudara)
3.   Anakboru (pihak ipar)
4.   Tondong ni tondong ( Pamannya paman )
5.   Boru ni boru/anak boru ni mintori (ipar dari ipar)
gambaran ini memahamkan posisi masing-masing serta barisan kebersamaan  membuat besar dan keteratura dalam acara adat dan sebagai tatanan kehidupan masyarakat simalungun.

Sehubungan dengan hal tersebut bahwa di simalungun yang berkuasa adalah “Marga” namun pemerintahannya  dengan sistem kerajaan pada awalnya dibangun oleh  4 kerajaan (tahun 1833), yaitu : Kerajaan Dolok Silau, Tanah Jawa, Siantar dan Panei yang disebut raja ber “Empat”,  kemudian kerajaan Dolok Silau berkembang menjadi empat kerajaan, diantaranya : Kerajaan  Dolok Silau, Raya, Purba dan Silima Kuta sehingga pada tahun 1904 dimasa penjajahan Pemerintahan Hindia  Belanda membuat “ Kontrak Pendek “ (korte verklaring)  menjadi kumpulan dari 7 kerajaan yang dibuat pada bulan september tahun 1907 diantarnya  Kerajaan Pane, Raya dan Silima Kuta, Purba, Tanah Jawa,  Dolok Silau, Kerajaan Siantar. Ketujuh kerajaan ini  yang mengusai seluruh wilayah Simalungun dengan dasar kewilayahan (teritorial).

Raja sebagai Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan pemerintahan untuk membangun kesejahteraan dan kebahagian seluruh warga masyarakat  dibantu oleh sebuah dewan yang dinamakan “HARAJAAN” yaitu semacam kabinet  yang terdiri dari pembesar nagori (desa) atau orang-orang besar kerajaan. Bagi mereka diberikan gelar bervariasi menurut masing-masing kerajaan bersangkutan (Raja Marpitu).  Untuk hubungan antara raja-raja dikalangan pemerintahan keluar saling membantu untuk mempertahankan wilayah kerajannya terutama menghadapi gangguan dari luar yang didasarkan atas sumpah yang telah dibuat sebelumnya “ SISADA PARMALUAN, SISADA  LUNGUN“ (senasib sepenanggungan). Sumpah ini membuktikan bahwa terdapatnya Masyarakat Adat melalui kepemimpinan terhadap orang-orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut lebih menegaskan dalam konteks berbicara “ Masyarakat Adat ” di simalungun adalah orang-orang yang  marga/keturunan (genealogis) simalungun dan tunduk pada aturan budaya suku simalungun.

Berangkat dari realitas tersebut di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat demikian juga masyarakat adat simalungun, secara politik maupun hukum. Hal ini juga telah ditetapkan  di dalam perubahan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tentang pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat,  yaitu :
1.         Pasal 18 B ayat (2),  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  Yang diatur dalam pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang :
(a) kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati   masyarakat adat, serta
(b)  hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan   penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.
Pasal 28 i ayat (3) yang menyebutkan juga Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2.         Undang–undang  Pokok Agraria no. 5  tahun 1960 yang  jauh sebelumnya telah ada   dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Pada pasal 5 menyebutkan “ Hukum agraria yang berlaku di bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa
3.         UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 203 ayat (3), hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
4.         Pada  Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang Desa menetapkan bahwa Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas – batas wilayah yang wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

     Ke empat  hal tersebut di atas dipahami menjadi sangat mendasar Pemerintahan Indonesia ikut serta Deklarasi Anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang berisikan 46 pasal  di tanda tangani  tanggal 13 september 2007 di New York. Pada pasal 26 secara tegas menyebutkan :
a.  Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya –sumber daya yang telah digunakan atau didapatkan.
b. Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah, sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah, sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dengan cara lain.
c.    Negara-negara akan memberikan pengakuan hukum dan perlindungan atas tanah-tanah, wilayah-wilayah, dan sumber daya-sumber daya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan-penghormatan atas kebiasan-kebiasan, tradisi-tradisi, dan sistem pengakuan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.

Secara administratif saat ini Kabupaten Simalungun salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 31 Kecamatan dan 367 (345 Nagori, 22 Kelurahan) jumlah penduduk 817.720 jiwa  dengan batas-batas wilayah  sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Timur Kabupaten Asahan, Selatan dengan Toba Samosir, Barat Kabupaten Karo dengan luas wilayah   457.960 Ha (BPS Simalungun, 2011)

Dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 1998 luas wilayah Kabupaten Simalungun 438.660 ha (Rosnidar.2001:70) jikalau di hubungkan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Simalungun tahun 2011 seluas 457.960 ha, berarti selama 13 tahun ada penambahan wilayah seluas 19.300 ha, kekurangan data BPS Simalungun tahun 2011 yang bersumber dari Pemerintahan Kabupaten Simalungun hanya menerbitkan data luas lahan yang sertifikat menurut kepemilikan, tidak menerangkan data penggunaan tanah, status pemilikan tanah demikian juga secara khusus tentang Luas Hak Guna Usaha (HGU) disetiap kecamatan dan secara keseluruhan di Kabupaten Simalungun.

Status Penggunaan Tanah Di Kabupaten Simalungun (1998)







No.
 STATUS PENGUASAAN TANAH
L U A S
Ha
%
1
 Hak Guna Usaha
126.762
28,91
2
 Kawasan Hutan
72.111
16.44
3
Sertifikat Hak Milik, Pakai,  Guna Bangunan dan   Pengelolaan
10.199
2.32
4
 Tanah Negara diusahai rakyat (belum sertifikat)
229.538
52.33


Pengakuan Masyarakat Hukum Adat inhen dengan adanya hak ulayat. Hal ini disebabkan dengan  terdapatnya  sekumpulan orang juga harus berhubungan dengan wilayah yang dijadikan sebagai lingkungan kehidupan untuk dikelola, mengatur peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan  dimanfaatkan oleh para warga secara bersama sebagai  sarana maupun sumber kehidupan.

Jikalau ditetapkan hak ulayat warisan masyarakat adat yang dikelola secara bersama untuk keperluan kebutuhan hidup dalam konteks simalungun tidak terlepas dengan sumber daya-sumber daya yang telah pernah dimiliki maupun dikuasai,   juga menjadi warisan bagi marga-marga atau keturunan Raja Marpitu  Simalungun, karena tanah untuk masyarakat adat simalungun bukan sekedar sebuah keperluan primer, tanah berkaitan dengan nilai religius. Hal ini disebutkan religius sehubungan dengan proses dan tata cara kepemilikan tanah secara Hukum Adat Simalungun  diawali dengan perundingan dengan Penghulu (kepala Desa/Nagori) atas persetujuan Raja untuk menyelidiki hutan yang hendak “ di perladangi “ yang menurut istilah simalungunnya “ Manririt Harangan” yang dikerjakan paling cepat selama empat hari di hutan, hutan yang dikunjungi tanah diambil masing-masing sekepal  dibawa pulang kekampung untuk dimimpikan, apakah berniali kesehatan dan kebahagian apabila tempat di perladangi. Tahap berikutnya disaat mimpi memberikan keberuntungan Pangulu (Kepala Desa) memberikan serta menentukan batas luas tanah menurut banyaknya keluarga.
Leluasanya Pemerintahan Kolonial Belanda di Simalungun dampak dari rendahnya sumber daya manusia sehingga dapat menguasai seluruh kerajaan, dan dapat dilihat melalui Perjanjian Pendek (korte Verklaring) tahun 1907 dengan isi seluruh kerajaan tunduk pada Pemerintahan Klonial Belanda. Untuk mempermudah administrasi serta  tujuan politik perpecahan di kerajaan simalungun,  maka setatus partuanon di Kerajan Dolog Silau diangkat menjadi kerajaan, yaitu : Raya (Marga Garingging, Januari 1904, SK No.6), Purba ( Marga Purba Pak-pak), Silimakuta (Marga Purba Girsang). Pengusaha pribumi di tugaskan untuk mengurus daerahnya sendiri sebagai penguasa swapraja, sebagai penguasa daerah yang otonom mereka memiliki status sebagai Kepala Pemerintahan Daerah.
Pada Tahun 1946 melalui gerakan Revolusi Sosial di Simalungun berakhirlah seluruh kerajaan Marpitu demikian juga kuasa Pemerintahan Kolonial Belanda,  namun revolusi tersebut bukan memutus hubungan garis keturunan darah antar raja dengan generasi demikian juga menghapus hak kepemilikan,  namun lebih pada gerakan sosial pembelaan pada masyarakat lemah akibat kesenjangan sosial yang terjadi disaat Pemerintahan Klonial Belanda  di Simalungun.
Dari uraian ini membuat jelas bagaimana keberadaan kerajaan simalungun yaitu “Kerajaan Marpitu”  hubungannya dengan Pemerintahan Kolonial Belanda dan berakhirnya kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda di Simalungun  tahun 1946 membuat muncul pemikiran tentang status wilayah kerajaan simalungun yang diserahkan pada Pemerintahan Kolonial Belanda. Dari sudut pandang pemahaman penetapan “ Hak Ulayat “  berarti wilayah yang diserahkan  kerajaan “Raja Marpitu“ pada Pemerintahan Kolonial Belanda  menjadi milik bersama Masyarakat Adat yang bermarga sesuai teritorial wilayah Kerajaan Marpitu simalungun.
Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 membuat terbentuknya sistem pemerintahan yang permanen dengan sistem pemerintahan pembagian wilayah melalui Pemerintahan Desa (Nagori), Kecamatan dan Kabupaten/Kota. Namun jikalau dikembalikan pada sistem yang diakui baik pada saat Pemerintahan Kolonial Belanda telah ditetapkan “ Kerajaan Marpitu “  Marga : Sinaga (Tanah Jawa), Saragih (Raya),  Damanik/Nagur (Siantar),  Purba Tambak (Dolok Silau)  Purba Dasuha (Panei), Purba Pak-Pak (Kec. Purba) dan Purba Girsang (Silima Kuta) disebut  “ SISADAPUR” yang  mengusai wilayah simalungun.

Dari segi penguasaan tanah saat ini di Kabupaten Simalungun ada hal kecenderungan perlu mendapat pembahasan, hal ini sehubungan dengan keberadaan hak untuk menikmati kekayaan warisan kerajaan simalugun, yaitu kepemilikan Hak Guna Usaha seluas 126.762 ha. Dari segi Penetapan Hak Ulayat maka yang berhak atas seluruh wilayah yang pernah di Kuasai oleh Kerajaan Marpitu menjadi warisan Masyarakat Adat  keturunan Raja Marpitu sesuai dengan marga dan wilayah kerajaannya, atau kepemilikan Hak Guna Usaha yang dikuasi oleh 5 PTPN, 3 Perusahaan swasta asing dan 3 swasta nasional seharusnya penyerahan dari Raja Marpitu atau generasinya, dan juga perlu dipertanyakan dampak langsung secara ekonomi terhadap pewaris melalui ketetapan sebagai Masyarakat Adat sehubungan dengan keberadaan perusahaan tersebut adalah menguasai untuk memperoleh keberuntungan.

Luas Hak Guna Usaha Di simalungun (1998)

No.
Kecamatan
Luas (ha)
Nama Kebun
1
Siantar
12.066
PTPN IV, VII dan PT.Sipef
2
Sidamanik
7.200
PTPN VIII.
3
P a n e i
3.369
PTPN IV dan VIII
4
Dolok Pardamean


5
Hataran
3.718
PTPN VII dan VIII
6
Dolok Panribuan
1.265
PTPN VIII
7
Tanah Jawa
11.550
PTPNVII dan VIII
8
Girsang S Bolon


9
Hutabayu Raja
9.407
PTPN VIII
10
Raya


11
Purba


12
Silima Kuta


13
Dolok Silau


14
Raya Kahean
1.715
PT. PP Lonsum
15
Silau Kahean
2.690
PTPN IV
16
Bandar
8.865
PTPN V,VII dan PT PP Lon-sum
17
Pematang Bandar
9.068
PTPN IIV, VII dan PT.PP Lon-sum
18
Bosar Maligas
20.552
PTPN IV,VII, PT. PP Lon-sum PT. Murida (Maligas A), dan PT. Flora Surya Lestari (Maligas B)
19
Ujung Padang
13.040
PTPN V, VI, dan PT. PP Lon-sum
20
Dolok Batu Nanggar
10.349
PTPN VII dan PT Bridgestone
21
Tapian Dolok
7.950
PT. Bridgestone dan PT Jasa Putra

Pengakuan secara nasional sesuai undang-undang, Internasional melalui Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangasa Tahun 2007 Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, bahwa Masyrakat Adat dan Hak Ulayat di Simalungun tidak perlu diperdebatkan lagi karena sesuai dengan undang-undang maupun peraturan yang telah di tetapkan,  yang hingga saat ini aturan kehidupan disaat  Kerajaan Marpitu sesuai penetapan kriteria Keberadaan Masyarakat Adat masih ada dan masih ditaati saat ini, diantaranya nilai-nilai luhur kehidupan yang menjadi falsafah hidup “ HABONARON DO BONA” (Kebenaran adalah pangkal segalanya), “ SAPANGAMBAI MANOKTOK HITEI “ ( prinsip gotong royong), serta diatur nilai norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat (adat istiadat) prinsip “ TOLU SAHUNDULAN LIMA SAODORAN “,  penyelesaian permasalahan adat kedalam dan keluar  melalui lembaga “ PARTUHA MAUJANA “ yang pengurusnya ada  di Nagori (desa) dan Kecamatan.

Material Culture ( Kebudayaan Material) masih sangat melekat pada kehidupan Masyarakat Adat Simalungun, diantaranya : Pakian tradisional dikenal dengan “”GOTONG” (Pakaian kebesaran untuk laki-laki) “ BULANG “ (untuk perempuan) beserta terkenal dengan “ ULOS-ULOS ADAT “ yang warna dan coraknya bervariasi serta pemanfaatannya sesuai dengan jenis acara adatnya (duka dan suka),  bahasa/dialek yang lambat dan lembut, kebudayaan material berikutnya Dayok Binatur (ayam) menjadi makanan resmi utama pada acara-acara budaya dan adat.

Sudah pantas dan saatnya suku bangsa simalungun berbangga hati terhadap kebesaran kerajaan serta  nilai sejarah yang di wariskan oleh leluhur pada kita saat ini hingga dapat berpartisipasi membentuk sistem pemerintahan melalui adopsi kearifan nilai-nilai lokal kerajaan simalungun baik wilayah demikian juga nama Pangulu Nagori sebagai pimpinan masyarakat di kampung.  Untuk itu patut kita hargai,  pertahankan, lestarikan untuk membuat suatu perubahan yang positif di simalungun.

Membangun perubahan tentu menjadi tujuan, harapan dan tanggung jawab bersama. Apa yang ada serta bertumbuhnya lembaga-lembaga maupun organisasi mengatasnamakan kepentingan simalungun menjadi kekuatan yang harus diorganisir oleh satu lembaga pengayom “ PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN “ yang indevendent berfungsi kedalam dan keluar mengurusi permasalahan masalah Masyarakat Adat Simalungun. Keberadaan Masyarakat Adat Simalungun di tentukan lebihlanjut bagaiman  generasi Raja Marpitu yaitu “ SISADAPUR “  bersatu sesuai dengan marga dan wilayah kerjaan masing-masing sesuai dengan kebutuhan penetapan keberadaan Masyarakat Adat.

Masih ada hal yang harus dikerjakan, membentuk, membenahi, menyempurnakan pengukuhan keberadaan Masyarakat Adat.  Ada tidaknya Hak Ulat Simalungun ditentukan oleh Peraturan Daerah sesuai dengan PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL (PMA/KBPN) No. 5 TAHUN 1999, Pasal 5 menetapkan “ Penentuan adanya Hak Ulayat di lakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal-hal yang memerlukan pemahahaman serta menjadi gerakan bersama salah satunya hanya dapat dilakukan disaat kita duduk bersama menggali potensi dan menjalin  kebersamaan dalam bentuk pertemuan sesuai dengan budaya simlungun.

Tudung Tongah ni ari, Ipake anggo marjibu
Logo ari maninting, korah ma bah tapian.
Tunggung ma , nasian  raja marpitu
Anggo sari nasiam,  bani tading-tadingan.

Tiptip tayup ni rumah,  bajan anggo marsiganjangan
Dear pamispisan rumah,  urah mambuat bah udan
Riapma nassiam ganup,  ulang marsidalian
Lihar pangarusion,  sada bani panriahan.