Opini.
Penguatan Masyarakat Adat
“ MENGUAK HAK ULAYAT SIMALUNGUN “
Oleh : Herman Sipayung.
Koordinator Program Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Lembaga Pelpem GKPS Jl. Pdt. J Wismar Saragih P.Siantar.
Masih jelas diingatan peristiwa
10 tahun yang lalu, tepatnya oktober 2001 gerakan perlawanan “Rakyat
Silampuyang” secara berramai-ramai merusak tanaman sawit seluas 80 ha milik
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN) Marihat dengan keinginan
tanah tersebut kembali pada mereka sebagai “ Hak Ulayat Masyarakat”.
Pada kenyataannya
semangat perjuangan serta nilai kebersamaan harus menghadapi penderitaan baru karena sekitar ratusan yang
menyebutkan pewaris “ hak ulayat “ harus
menjalani sanksi pidana. Pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN)
Marihat tetap secara syah untuk menguasai.
Dari peristiwa tersebut
muncul pertanyaan.
- Apakah selamanya Pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN) Marihat menjadi pemilik ?
- Apakah dengan kekalahan “ Rakyat Silampuyang” Hak Ulayat tidak ada di Simalungun ?
Istilah Hak Ulayat awalnya
berasal dari masyarakat Minangkabau (di Sumatera Barat), secara kepemilikan yang disebut hak ulayat ada di seluruh wilayah Indonesia,
seperti hak : wawengkon (jawa), torluk (Angkola), patuanan (Ambon), payur
(Bali). Pada UUPA No. 5 Tahun 1960, Pasal 3 menyebutkan secara jelas tentang nama
hak ulayat berlaku bagi seluruh masyarakat adat.
Ruhnya Masyarakat Adat
ada pada sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adat
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari, serta Hak Ulayat adalah hak kepunyaan bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah serta isinya, yang
dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan
merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung utama kehidupan dan
penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat
itu.
Untuk itu hubungan Masyarakat
Adat dengan keberadaan Hak Ulayat harus memenuhi 3 syarat secara kumulatif
yaitu :
- Adanya subyeknya yaitu : “ Masyarakat Adat “
- Ada objeknya
- Adanya hubungan subyek hak ulayat dengan obyek hak ulayat.
Dari
realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, identitas masyarakat adat secara
garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi :
1.
Kelompok masyarakat lokal yang
masih kukuh berpegang pada prinsip pertapa bumi dengan sama sekali tidak
mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan
lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak
luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya
dengan kearifan tradisonal mereka.
2.
Kelompok masyarakat lokal yang
masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka
ruang yang cukup bagi adanya hubungan komersil dengan pihak luar.
3.
Masyarakat adat yang hidup
tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan
mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak
mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman.
Contohnya : Dayak Penan di Kalimantan, Haruku di Maluku, dsb.
4.
Masyarakat adat yang sudah
tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun.
Susunan kekerabatan masyarakat suku
simalungun berdasarkan pertalian darah garis keturunan laki-laki (patrinieal
genealogis) memakai marga ayah dibelakang nama kecil. Setelah menikah juga
memakai marga ayah warisan kakek. Beda dengan perempuan setelah menikah masuk
clan suaminya, dan anaknya masuk marga suami. Hal ini sesuai menurut masyarakat
simalungun marga mempunyai arti yang
sangat penting, karena marga menentukan sejarah tiap generasi yang tidak akan
putus. Marga menunjukkan suatu kelompok tertentu yang ada hubungan darah, marga
bukanlah menentukan teritorial, tetapi marga mengandung aspek identitas
sedarah, seketurunan, satu nenek moyang yang sama. Dalam status sosial marga
menentukan perbedaan kedudukan apakah sebagai marga raja, marga boru, marga
penumpang dalam suatu huta dengan Falsafah kehidupan dikenal Lembaga Adat yang
disebut “TOLU SAHUNDULAN LIMA SAODORAN “ (Tungku nan tiga dan Tungku nan lima),
yaitu :
1. Tondong (Paman)
2.
Sanina/sapanganonkon (sanak saudara)
3. Anakboru (pihak ipar)
4. Tondong ni tondong ( Pamannya
paman )
5. Boru ni boru/anak boru ni mintori
(ipar dari ipar)
gambaran ini memahamkan posisi
masing-masing serta barisan kebersamaan
membuat besar dan keteratura dalam acara adat dan sebagai tatanan
kehidupan masyarakat simalungun.
Sehubungan dengan hal tersebut bahwa di simalungun
yang berkuasa adalah “Marga” namun pemerintahannya dengan sistem kerajaan pada awalnya dibangun
oleh 4 kerajaan (tahun 1833), yaitu :
Kerajaan Dolok Silau, Tanah Jawa, Siantar dan Panei yang disebut raja ber
“Empat”, kemudian kerajaan Dolok Silau
berkembang menjadi empat kerajaan, diantaranya : Kerajaan Dolok Silau, Raya, Purba dan Silima Kuta
sehingga pada tahun 1904 dimasa penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda membuat “ Kontrak Pendek “ (korte
verklaring) menjadi kumpulan dari 7 kerajaan yang dibuat
pada bulan september tahun 1907 diantarnya
Kerajaan Pane, Raya dan Silima Kuta, Purba, Tanah Jawa, Dolok Silau, Kerajaan Siantar. Ketujuh
kerajaan ini yang mengusai seluruh
wilayah Simalungun dengan dasar kewilayahan (teritorial).
Raja sebagai Kepala Pemerintahan dalam
pelaksanaan pemerintahan untuk membangun kesejahteraan dan kebahagian seluruh
warga masyarakat dibantu oleh sebuah dewan yang dinamakan
“HARAJAAN” yaitu semacam kabinet yang
terdiri dari pembesar nagori (desa) atau orang-orang besar kerajaan. Bagi
mereka diberikan gelar bervariasi menurut masing-masing kerajaan bersangkutan
(Raja Marpitu). Untuk hubungan antara
raja-raja dikalangan pemerintahan keluar saling membantu untuk mempertahankan
wilayah kerajannya terutama menghadapi gangguan dari luar yang didasarkan atas
sumpah yang telah dibuat sebelumnya “ SISADA PARMALUAN, SISADA LUNGUN“ (senasib sepenanggungan). Sumpah ini
membuktikan bahwa terdapatnya Masyarakat Adat melalui kepemimpinan terhadap
orang-orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Hal
tersebut lebih menegaskan dalam konteks berbicara “ Masyarakat Adat ” di
simalungun adalah orang-orang yang
marga/keturunan (genealogis) simalungun dan tunduk pada aturan budaya
suku simalungun.
Berangkat
dari realitas tersebut di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tidak mengakui eksistensi
masyarakat adat demikian juga masyarakat adat simalungun, secara politik maupun
hukum. Hal ini juga telah ditetapkan di
dalam perubahan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tentang pengakuan dan
penghormatan terhadap masyarakat adat,
yaitu :
1.
Pasal 18 B ayat (2), Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang diatur dalam pasal ini memberikan posisi
konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta
menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana seharusnya
komunitas diperlakukan. Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi
tentang :
(a)
kewajiban konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta
(b) hak konstitusional masyarakat adat untuk
memperoleh pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak tradisionalnya.
Pasal
28 i ayat (3) yang menyebutkan juga Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2.
Undang–undang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960 yang jauh sebelumnya telah ada dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno
produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Pada
pasal 5 menyebutkan “ Hukum agraria yang berlaku di bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara yang didasarkan atas persatuan bangsa
3.
UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 203 ayat (3), hak-hak masyarakat hukum adat untuk
mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
hukum adat setempat
4.
Pada Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang
Desa menetapkan bahwa Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas – batas wilayah yang
wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ke
empat hal tersebut di atas dipahami
menjadi sangat mendasar Pemerintahan Indonesia ikut serta Deklarasi Anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang berisikan
46 pasal di tanda tangani tanggal 13 september 2007 di New York. Pada
pasal 26 secara tegas menyebutkan :
a. Masyarakat adat memiliki hak atas
tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki
atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya –sumber daya yang telah digunakan atau didapatkan.
b.
Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan
mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah, sumber daya-sumber daya yang mereka
miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan
secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah,
sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dengan cara lain.
c.
Negara-negara akan memberikan pengakuan
hukum dan perlindungan atas tanah-tanah, wilayah-wilayah, dan sumber
daya-sumber daya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan
penghormatan-penghormatan atas kebiasan-kebiasan, tradisi-tradisi, dan sistem
pengakuan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.
Secara administratif saat ini Kabupaten
Simalungun salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 31
Kecamatan dan 367 (345 Nagori, 22 Kelurahan) jumlah penduduk 817.720 jiwa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Timur Kabupaten Asahan,
Selatan dengan Toba Samosir, Barat Kabupaten Karo dengan luas wilayah 457.960 Ha (BPS
Simalungun, 2011)
Dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN)
tahun 1998 luas wilayah Kabupaten
Simalungun 438.660 ha (Rosnidar.2001:70) jikalau di hubungkan dengan data
dari Badan Pusat Statistik (BPS) Simalungun tahun 2011 seluas
457.960 ha, berarti selama 13 tahun ada penambahan wilayah seluas 19.300 ha,
kekurangan data BPS Simalungun tahun 2011 yang bersumber dari Pemerintahan Kabupaten
Simalungun hanya menerbitkan data luas lahan yang sertifikat menurut
kepemilikan, tidak menerangkan data penggunaan tanah, status pemilikan tanah
demikian juga secara khusus tentang Luas Hak Guna Usaha (HGU) disetiap
kecamatan dan secara keseluruhan di Kabupaten Simalungun.
Status
Penggunaan Tanah Di Kabupaten Simalungun (1998)
No.
|
STATUS
PENGUASAAN TANAH
|
L U A S
|
|
Ha
|
%
|
||
1
|
Hak Guna Usaha
|
126.762
|
28,91
|
2
|
Kawasan Hutan
|
72.111
|
16.44
|
3
|
Sertifikat Hak
Milik, Pakai, Guna Bangunan dan Pengelolaan
|
10.199
|
2.32
|
4
|
Tanah Negara diusahai rakyat (belum
sertifikat)
|
229.538
|
52.33
|
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat inhen dengan
adanya hak ulayat. Hal ini disebabkan dengan terdapatnya
sekumpulan orang juga harus berhubungan dengan wilayah yang dijadikan
sebagai lingkungan kehidupan untuk dikelola, mengatur peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaan dimanfaatkan
oleh para warga secara bersama sebagai sarana maupun sumber kehidupan.
Jikalau ditetapkan hak ulayat warisan masyarakat adat yang dikelola secara bersama untuk
keperluan kebutuhan hidup dalam konteks simalungun tidak terlepas dengan sumber
daya-sumber daya yang telah pernah dimiliki maupun dikuasai, juga menjadi warisan bagi marga-marga atau
keturunan Raja Marpitu Simalungun, karena
tanah untuk masyarakat adat simalungun bukan sekedar sebuah keperluan primer,
tanah berkaitan dengan nilai religius. Hal ini disebutkan religius sehubungan
dengan proses dan tata cara kepemilikan tanah secara Hukum Adat Simalungun diawali dengan perundingan dengan Penghulu
(kepala Desa/Nagori) atas persetujuan Raja untuk menyelidiki hutan yang hendak
“ di perladangi “ yang menurut istilah simalungunnya “ Manririt Harangan” yang
dikerjakan paling cepat selama empat hari di hutan, hutan yang dikunjungi tanah
diambil masing-masing sekepal dibawa pulang
kekampung untuk dimimpikan, apakah berniali kesehatan dan kebahagian apabila
tempat di perladangi. Tahap berikutnya disaat mimpi memberikan keberuntungan
Pangulu (Kepala Desa) memberikan serta menentukan batas luas tanah menurut
banyaknya keluarga.
Leluasanya Pemerintahan Kolonial
Belanda di Simalungun dampak dari rendahnya sumber daya manusia sehingga dapat
menguasai seluruh kerajaan, dan
dapat dilihat melalui Perjanjian Pendek (korte Verklaring) tahun
1907 dengan isi seluruh kerajaan tunduk pada Pemerintahan Klonial Belanda. Untuk mempermudah administrasi serta tujuan politik perpecahan di kerajaan simalungun, maka setatus
partuanon di Kerajan Dolog
Silau diangkat menjadi kerajaan, yaitu : Raya (Marga Garingging, Januari 1904, SK No.6), Purba ( Marga Purba Pak-pak),
Silimakuta (Marga Purba Girsang). Pengusaha pribumi di tugaskan untuk mengurus
daerahnya sendiri sebagai penguasa swapraja, sebagai penguasa daerah yang
otonom mereka memiliki status sebagai Kepala Pemerintahan Daerah.
Pada Tahun 1946 melalui gerakan
Revolusi Sosial di Simalungun berakhirlah seluruh kerajaan Marpitu demikian
juga kuasa Pemerintahan Kolonial Belanda, namun revolusi tersebut bukan memutus hubungan
garis keturunan darah antar raja dengan generasi demikian juga menghapus hak
kepemilikan, namun lebih pada gerakan
sosial pembelaan pada masyarakat lemah akibat kesenjangan sosial yang terjadi
disaat Pemerintahan Klonial Belanda di Simalungun.
Dari uraian ini membuat jelas
bagaimana keberadaan kerajaan simalungun yaitu “Kerajaan Marpitu” hubungannya dengan Pemerintahan Kolonial
Belanda dan berakhirnya kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda di Simalungun tahun 1946 membuat muncul pemikiran tentang
status wilayah kerajaan simalungun yang diserahkan pada Pemerintahan Kolonial
Belanda. Dari sudut pandang pemahaman penetapan “ Hak Ulayat “ berarti wilayah yang diserahkan kerajaan “Raja Marpitu“ pada Pemerintahan
Kolonial Belanda menjadi milik bersama
Masyarakat Adat yang bermarga sesuai teritorial wilayah Kerajaan Marpitu
simalungun.
Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
membuat terbentuknya sistem pemerintahan yang permanen dengan sistem
pemerintahan pembagian wilayah melalui Pemerintahan Desa (Nagori), Kecamatan
dan Kabupaten/Kota. Namun jikalau dikembalikan pada sistem yang diakui baik
pada saat Pemerintahan Kolonial Belanda telah ditetapkan “ Kerajaan Marpitu “ Marga : Sinaga (Tanah Jawa), Saragih
(Raya), Damanik/Nagur
(Siantar), Purba Tambak (Dolok Silau) Purba Dasuha (Panei), Purba
Pak-Pak (Kec. Purba) dan Purba Girsang (Silima Kuta) disebut “ SISADAPUR” yang mengusai wilayah simalungun.
Dari segi
penguasaan tanah saat ini di Kabupaten Simalungun ada hal kecenderungan perlu
mendapat pembahasan, hal ini sehubungan dengan keberadaan hak untuk menikmati
kekayaan warisan kerajaan simalugun, yaitu kepemilikan Hak Guna Usaha seluas 126.762 ha. Dari segi Penetapan Hak Ulayat
maka yang berhak atas seluruh wilayah yang pernah di Kuasai oleh Kerajaan
Marpitu menjadi warisan Masyarakat Adat
keturunan Raja Marpitu sesuai dengan marga dan wilayah kerajaannya, atau
kepemilikan Hak Guna Usaha yang dikuasi oleh 5 PTPN, 3 Perusahaan swasta asing dan
3 swasta nasional seharusnya penyerahan dari Raja Marpitu atau generasinya, dan
juga perlu dipertanyakan dampak langsung secara ekonomi terhadap pewaris
melalui ketetapan sebagai Masyarakat Adat sehubungan dengan keberadaan
perusahaan tersebut adalah menguasai untuk memperoleh keberuntungan.
Luas
Hak Guna Usaha Di simalungun (1998)
No.
|
Kecamatan
|
Luas (ha)
|
Nama Kebun
|
1
|
Siantar
|
12.066
|
PTPN IV, VII dan PT.Sipef
|
2
|
Sidamanik
|
7.200
|
PTPN VIII.
|
3
|
P a n e i
|
3.369
|
PTPN IV dan VIII
|
4
|
Dolok Pardamean
|
|
|
5
|
Hataran
|
3.718
|
PTPN VII dan VIII
|
6
|
Dolok Panribuan
|
1.265
|
PTPN VIII
|
7
|
Tanah Jawa
|
11.550
|
PTPNVII dan VIII
|
8
|
Girsang S Bolon
|
|
|
9
|
Hutabayu Raja
|
9.407
|
PTPN VIII
|
10
|
Raya
|
|
|
11
|
Purba
|
|
|
12
|
Silima Kuta
|
|
|
13
|
Dolok Silau
|
|
|
14
|
Raya Kahean
|
1.715
|
PT. PP Lonsum
|
15
|
Silau Kahean
|
2.690
|
PTPN IV
|
16
|
Bandar
|
8.865
|
PTPN V,VII dan PT PP Lon-sum
|
17
|
Pematang Bandar
|
9.068
|
PTPN IIV, VII dan PT.PP Lon-sum
|
18
|
Bosar Maligas
|
20.552
|
PTPN
IV,VII, PT. PP Lon-sum PT. Murida (Maligas A), dan PT. Flora Surya Lestari
(Maligas B)
|
19
|
Ujung Padang
|
13.040
|
PTPN
V, VI, dan PT. PP Lon-sum
|
20
|
Dolok Batu Nanggar
|
10.349
|
PTPN
VII dan PT Bridgestone
|
21
|
Tapian Dolok
|
7.950
|
PT.
Bridgestone dan PT Jasa Putra
|
Pengakuan secara nasional sesuai undang-undang,
Internasional melalui Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangasa Tahun 2007 Tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat, bahwa Masyrakat Adat dan Hak Ulayat di Simalungun tidak perlu
diperdebatkan lagi karena sesuai dengan undang-undang maupun peraturan yang
telah di tetapkan, yang hingga saat ini aturan
kehidupan disaat Kerajaan Marpitu sesuai
penetapan kriteria Keberadaan Masyarakat Adat masih ada dan masih ditaati saat
ini, diantaranya nilai-nilai luhur kehidupan yang menjadi falsafah hidup “
HABONARON DO BONA” (Kebenaran adalah pangkal segalanya), “ SAPANGAMBAI MANOKTOK
HITEI “ ( prinsip gotong royong), serta diatur nilai norma-norma yang mengatur
perilaku masyarakat (adat istiadat) prinsip “ TOLU SAHUNDULAN LIMA SAODORAN
“, penyelesaian permasalahan adat
kedalam dan keluar melalui lembaga “
PARTUHA MAUJANA “ yang pengurusnya ada di Nagori (desa) dan Kecamatan.
Material Culture ( Kebudayaan Material)
masih sangat melekat pada kehidupan Masyarakat Adat Simalungun, diantaranya :
Pakian tradisional dikenal dengan “”GOTONG” (Pakaian kebesaran untuk laki-laki)
“ BULANG “ (untuk perempuan) beserta terkenal dengan “ ULOS-ULOS ADAT “ yang
warna dan coraknya bervariasi serta pemanfaatannya sesuai dengan jenis acara
adatnya (duka dan suka), bahasa/dialek
yang lambat dan lembut, kebudayaan material berikutnya Dayok Binatur (ayam)
menjadi makanan resmi utama pada acara-acara budaya dan adat.
Sudah pantas dan saatnya suku bangsa simalungun
berbangga hati terhadap kebesaran kerajaan serta nilai sejarah yang di wariskan oleh leluhur
pada kita saat ini hingga dapat berpartisipasi membentuk sistem pemerintahan
melalui adopsi kearifan nilai-nilai lokal kerajaan simalungun baik wilayah
demikian juga nama Pangulu Nagori sebagai pimpinan masyarakat di kampung. Untuk itu patut kita hargai, pertahankan, lestarikan untuk membuat suatu
perubahan yang positif di simalungun.
Membangun perubahan tentu menjadi tujuan,
harapan dan tanggung jawab bersama. Apa yang ada serta bertumbuhnya lembaga-lembaga
maupun organisasi mengatasnamakan kepentingan simalungun menjadi kekuatan yang
harus diorganisir oleh satu lembaga pengayom “ PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN “
yang indevendent berfungsi kedalam dan keluar mengurusi permasalahan masalah Masyarakat
Adat Simalungun. Keberadaan Masyarakat Adat Simalungun di tentukan lebihlanjut bagaiman generasi Raja Marpitu yaitu “ SISADAPUR
“ bersatu sesuai dengan marga dan
wilayah kerjaan masing-masing sesuai dengan kebutuhan penetapan keberadaan
Masyarakat Adat.
Masih ada hal yang harus dikerjakan,
membentuk, membenahi, menyempurnakan pengukuhan keberadaan Masyarakat Adat. Ada tidaknya Hak Ulat Simalungun ditentukan
oleh Peraturan Daerah sesuai dengan PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL (PMA/KBPN) No. 5 TAHUN 1999, Pasal 5 menetapkan “
Penentuan adanya Hak Ulayat di lakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal-hal yang
memerlukan pemahahaman serta menjadi gerakan bersama salah satunya hanya dapat
dilakukan disaat kita duduk bersama menggali potensi dan menjalin kebersamaan dalam bentuk pertemuan sesuai
dengan budaya simlungun.
Tudung Tongah ni ari, Ipake
anggo marjibu
Logo ari maninting, korah ma
bah tapian.
Tunggung
ma , nasian raja marpitu
Anggo
sari nasiam, bani tading-tadingan.
Tiptip
tayup ni rumah, bajan anggo
marsiganjangan
Dear
pamispisan rumah, urah mambuat bah udan
Riapma
nassiam ganup, ulang marsidalian
Lihar
pangarusion, sada bani panriahan.